Daftar Isi [Tampilkan]
Tumpukan pakaian itu sudah hampir
selesai kurapikan. Lalu aku memasukkannya ke dalam tiga tas besar terpisah. Suamiku
segera mengeluarkan motor skuter matic
dari garasi dan mengangkat tas itu satu per satu. Tas biru berukuran sedang
ditaruh di depan injakan kaki, sedangkan ranselnya ditaruh di belakang
pundaknya dan yang paling besar di boncengan belakang.
Diikat dengan tali rafia
sangat kencang. “Mudah-mudahan laku ya. Doakan aku,” ujarnya lirih sambil
berusaha tersenyum. “Insya Allah”. Suamikulah yang berinisiatif membeli
barang dagangan itu di Pasar Jatinegara. Dengan mengendarai sepeda motor milik
kami satu-satunya, ia berangkat ke sana. Rasa malu yang ada di pundaknya sudah
disingkirkan.
Yang dipikirkannya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan, walau
tidak banyak. Mengais-ngais rezeki dengan cara seperti ini lelahnya bukan main.
Bukan lelah secara fisik saja, namun mental. Harus ikhlas setiap ditanya
tetangga,”Kok…?”
Sudah beberapa minggu ini aku juga nekat
berjualan. Bermodalkan motor skuter matic
yang sama itu, aku berkeliling dari rumah
tetangga yang satu ke rumah tetangga lainnya. Bukan hanya para tetangga yang
aku tawari, tapi orang yang tidak kukenal pun kerap kudatangi rumahnya. Yang
aku jual adalah aneka daster bordir, piyama anak dan dewasa, selimut kartun
anak, dan handuk.
Aku berusaha membeli barang yang sangat
terjangkau dan bahannya cukup enak dipakai. Biasanya aku pesan satu sampai dua
lusin. Setelah laku lebih dari separuhnya, baru aku beli lagi. Begitu
seterusnya. Karena modal pun hanya sedikit. Ya, hitung-hitung belajar. Yang
paling banyak disukai orang adalah daster. Aku tempeli label harga lalu kemas
dalam plastik bening.
“Oh, sekarang Fitri jualan daster ya? Emangnya
suaminya ke mana, kok sampai jualan begini?” Ada lagi yang mengatakan,”Kurang
apa sih, bapak dan ibumu kan kaya? Kamu nggak
malu jualan door to door kayak gini?” Sedih memang. Nelangsa. Capek juga kalau setiap kali ditanya
seperti itu, jawabannya itu-itu lagi. Siapa sih
yang bercita-cita seperti ini? Sasaran pembeliku adalah teman arisan ibuku. Ibu
yang menyarankan aku menawarkan dagangan pada kelompok arisannya. Aku tahu,
jauh di dalam lubuk hatinya, beliau pasti merasakan sesak di dadanya. Maafkan
aku, Bu.
Sungguh, perasaan malu itu menyergap
perasaanku. Apa kata orang nanti, mantan seorang teller kok dagang? Apakah suaminya miskin? Aku yakin orangtuaku
juga tak sanggup melihat aku dan suamiku mencari sesuap nasi dengan cara
seperti itu. Jelas saja, aku sarjana ekonomi dan suamiku bergelar MM (Magister Management) “Yang penting
halal. Memangnya orang-orang itu mau kasih kita makan? Namanya juga usaha dan berdoa. Aku juga sudah
mengirimkan banyak surat lamaran. Sabar ya,” ucap suamiku pelan namun cukup
tegas. Kata-katanya melegakan hatiku.
Rafa kutitipkan pada ibuku di rumah. Ia
mungkin cukup mengerti apa yang kukerjakan adalah hal mutlak saat itu. Tidak
pernah rewel atau menangis minta ini-itu. Benar-benar anak yang pengertian.
Biasanya aku mulai keluar rumah sekitar pukul 09.00 WIB sampai jam makan siang.
Kemudian dilanjutkan sore harinya setelah adzan Shalat Ashar berkumandang.
Keringat yang bercucuran tak kuhiraukan.
Aku jadi salut pada pedagang di pasar
maupun para sales yang tak kenal
lelah menjual barang dagangannya. Ternyata kalau mau berjualan itu harus sabar
dan penuh toleransi. Aku baru tahu rasanya ditolak mentah-mentah oleh calon
pembeli. Baru mengucapkan salam di depan pintu, si empunya rumah sudah
memperlihatkan rasa tidak suka. “Nggak, nggak. Saya nggak suka pakai daster.” Tangan kanan si ibu masih memegang
gagang pintu. Takut kalau aku berusaha masuk ke dalam ruang tamunya. “Terima
kasih, Bu.” Paling itu saja yang terasa wajib diucapkan. Rasanya seperti orang
paling kerdil di dunia. Aku hanya bisa mengelus dada.
Aku teringat masa itu. Saat keluarga
miniku mengalami dahaga, akibat musim kemarau yang
berkepanjangan. Saat aku merasa bagai manusia paling miskin di dunia. Saat
merasa rendah diri yang terus melanda tanpa henti. Saat merutuki diri mengapa
semua ini harus aku yang mengalami. Saat aku merasa seperti penyu yang menarik
kepalanya hingga tak terlihat. Malu.
Ketika itu suamiku mendapatkan Surat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja di tahun 2007 yang lalu.
Selama dua tahun lamanya dia menganggur. Dua tahun rasanya sangat menyiksaku.
Pasti suamiku merasakan lebih dahsyat. Bukan tanpa usaha mengajukan surat
lamaran ke sana ke mari, ke berbagai macam perusahaan. Orang bilang,”Belum
rezekinya,” Mungkin benar begitu.
Ya
Allah, maafkan aku yang sempat memukuli perut buncitku. Aku belum siap punya
“buntut” kedua. Mengapa Engkau menciptakan “si mungil” pada saat seperti ini?
Malah Engkau membuat dia ada di kala spiral Nova T itu masih bersarang di
rahimku, sehingga Rafa mendadak harus berhenti minum ASI-ku? Apa salahku? Apa
salah dan dosa suamiku? Seluruh harta sudah habis, termasuk perhiasan akad
nikah kami.
Saat itu usia kandungan calon anak
keduaku berusia enam bulan. Anak pertamaku, Rafa, sudah berusia dua tahun empat bulan. Aku
hanya ibu rumah tangga biasa yang sejak tahun 2006 mengundurkan diri dari
pekerjaanku sebagai frontliner staff
di sebuah bank swasta. Tidak semestinya aku berpikir keras, bahkan terlalu
keras untuk seorang ibu yang sedang hamil. Seharusnya aku tenang, santai,
bersenang-senang, serta bahagia. Tapi aku selalu berpikir setiap detik.
Bagaimana biaya persalinan nanti? Harus dibayar dengan daunkah serentetan
vaksinasi bagi anak-anakku? Kebutuhan utama selanjutnya bagaimana? Minta
bantuan pada orang tua? Oh, tidak mungkin. Tidak mau juga pastinya. Kedua orang
tua suamiku sudah tenang di alam baka. Orang tuaku? Pensiunan BUMN. Masih
banyak kebutuhan adikku yang paling kecil, untuk kuliah masternya. Meskipun memang termasuk berada tapi aku tak mau menjadi beban orangtua.
Kami memang masih tinggal menumpang di
rumah kedua orang tuaku. Malam itu kira-kira pukul 20.30 WIB suamiku tiba di
rumah. Seperti biasanya, ia langsung menemui aku dan Rafa di kamar kami di
lantai atas. Aku sedang menemani Rafa menonton televisi sambil merapikan
pakaian yang sudah disetrika untuk dimasukkan ke dalam lemari. Tidak ada
perubahan besar di wajahnya. Hanya saja, aku melihat kedua bola matanya
mengatakan sesuatu yang tak biasa. Sedikit berkaca-kaca. “Pak Hans menyuruhku
menandatangani surat pengunduran diri!” ucapnya memecah keheningan. “Mulai
bulan depan aku resmi menjadi pengangguran”. Astaghfirullaah!
Aku memang tidak langsung menangis
ataupun berkomentar banyak. Namun perutku yang berbicara. Aku mengalami
kontraksi yang cukup menyakitkan. Bahasa tubuh itu. Calon anak kedua kami pasti
merasa apa yang kurasakan. Kepalaku pusing tidak karuan. Apalagi orang tuaku,
pasti lebih pusing lagi mendengar berita ini.
Hidup kami “mantab” alias makan
tabungan. Deposito dan tabungan pendidikan anak-anak habis. Uang di tangan
tersisa 1000 rupiah. Hingga berada di titik “hidup segan mati belum siap”. Kakak
iparku di Malang berusaha menolong dengan membayarkan iuran sekolah Rafa kelas
taman bermain. Ia juga mentransfer sejumlah uang untuk kami berjualan daster
dan berbagai baju lebaran. Suamiku menegaskan, “Kita pinjam, bukan meminta!”
Dalam hati aku selalu berdoa, ”Ya Allah,
aku mohon pada-Mu supaya rumah di Cigadog, Sukabum, milik suamiku hasil dari
warisan orang tuanya segera laku terjual, sehingga keluarga kecilku bisa punya
rumah sendiri. Aku sudah tidak betah lagi tinggal di rumah bapak dan ibu. Aku
juga mohon ampun dan ridha-Mu agar suamiku segera mendapatkan pekerjaan yang
halal dan berkah.
**********
Aku percaya bahwa Allah SWT tidak buta
dan tuli. Aku juga telah membuktikan bahwa seseorang yang tengah berada dalam
keterpurukan hidup berarti sedang diuji keimanannya oleh-Nya dan akan naik
derajatnya. Aku sekarang bisa mengatakan bahwa sabar, berdoa dan berusaha
adalah kunci segalanya. Alhamdulillaah, kini keluarga kecilku sudah memiliki
rumah sendiri, bahkan kendaraan pribadi. Suamiku telah bekerja kembali. Kebetulan
direktur tempat suamiku bekerja dahulu memanggilnya untuk bergabung kembali.
Sudah 1,5 tahun terakhir kebahagiaan
yang dulu terenggut menjadi kebahagiaan yang nyata. Ternyata, Allah juga
mengabulkan doa kami. Per 1 September 2011 suamiku diangkat menjadi karyawan
permanen. Terima kasih Ya Allah. Semua memang akan indah pada waktunya. Insya
Allah ini barokah dari-Mu dan akan Kami jalani sebaik-baiknya. Aamiin Ya Rabbal
‘Aalamiin.
Buku Antologi Jejak Para Penjaga Hati: Kisah Si Penjual Daster |
Daftar Ini Buku Jejak Para Penjaga Hati |
Jejak
Para Penjaga Hati (Antologi): Kisah Si Penjual Daster, kisah inspiratif,
Yogyakarta, Penerbit Pohon Cahaya, Juni 2012.
Tulisan "Kisah SI Penjual Daster" ini adalah hasil karya saya yang berhasil lolos lomba menulis dan diabadikan ke dalam sebuah buku antologi.
Sejak tahun 2012 saya
berjualan baju tidur online melalui:
Fanpage FB: Baju Tidur
(Ratu Tidur Collection)
Instagram:
@nurul_ratutidurcollection
Terima
kasih telah mampir dan membaca kisahnya 😘
bacaan yg begini yaa yg aku suka :).. Bisa dijadiin semacam pengingat kalo hidup itu hrs sabar, hrs diiringi dengan doa... kdg kalo lg mellow , aku suka nangis sendiri baca yg rada sedih gini mba ;p.. btw, bgs ceritanya :)
ReplyDeleteIya ya mbak sedih juga aku nih hiks. Makasih yaaa sdh mampir dan baca2..mbak Fanny.
DeleteWowh ternyata ya,dulu kisah hidupnya bisa dijadikan sejarah ya mbak. Tapi kalo sudah enak seperti sekarang,jadinya ketawa pasti kalo ingat masa lalunya xixi. Ooh mb Nurul dulu kerja di bank to?kisahnya inspiratif banget,supaya setiap cobaan dalam rumah tangga tetap harus dipikul dan dinikmati oleh suami istri bareng ya
ReplyDeleteIyaaaa mbak Febri...dulu aku teller di bank swasta. Iyah kisah beneran nih tapi pake bumbu biar enak kayak mie instant hehehehe makin sedih kan hiks :D
DeleteKetika saya main ke rumah Mba Nurul yg bagus dan punya kendaraan lengkap, saya nggak nyangka kalau Mba Nurul pernah melewati ujian berumah-tangga dg kesulitan keuangan ya. Saya senang baca2 begini, jadi tau realita berumah-tangga. Beruntungnya Papa Rafa-Fakhri ya dapat istri yg shalihah. Nggak memilih pergi di saat suami nggak punya uang. Langgeng2, Mba :)
ReplyDeleteAamiin yra, makasih doanya ya Nita.... Iya kehidupan bagai roda berputar, makanya kita ga boleh takabur hehehe....Btw aku mah masih jauuuuuuh dari kata 'sholehah' malu ah ngumpet dulu, masih berlumur dosa gini..Semoga papanya anak2 dan anak2 tetap bahagia sama aku. Semoga Nita juga bahagia yaaa sip.
DeleteTerharu bacanya... Huhuhu.. Mewek ade. Kadang ide kreatif atau cendrung nekat karena menanggalkan gengsi, itu justru disaan ada diposisi terendah ya.
ReplyDeleteHebat iiih. Masih kuat imannya. Padahal di poaisi tsb empuk sasaran syetan buat dihasut berbuat yg ga di ridhai Allah.
Iya, mbak Ade :) Yach, begitulah kisahnya. Makasih ya.
Delete