Daftar Isi [Tampilkan]
Dulu, aku
pernah membencimu karena alasan yang konyol
Dulu, aku
tidak ingin menjadi seorang ibu seperti Mama
Dulu, aku
pernah mengata-ngataimu dengan julukan aneh
Dulu, aku
seringkali berucap "aahh!" padamu
Dulu, aku
sering tidak mematuhi kata-katamu
Bahagia dan
bangga bisa menjadi seorang ibu dari Rafa dan Fakhri
Merasakan
melahirkan secara normal meregang nyawa
Semoga,
berbekal tekadku beberapa hari yang lalu
Aku bisa
menjadi seorang istri dan mama yang dapat membahagiakan keluarga miniku
Juga mampu
membuat Mama senang, bahagia dan bangga memiliki anak seperti aku
Mama, maafkan
semua kesalahanku
Semoga Allah SWT mengabulkan do'aku
Semoga Allah SWT mengabulkan do'aku
Aamiin.
Kupandangi foto diri. Tak terasa waktu terus berjalan. Kini
aku telah dipanggil “mama” oleh kedua malaikat kecilku. Paras putriku bagai
pinang dibelah dua sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Telah
kubaca berulangkali puisi yang kubuat menjelang Hari Ibu pada 22 Desember 2011
lalu.
Tiba-tiba aku teringat masa kecilku. Begitu banyak kenangan
manis yang kulalui bersama mama, beliau biasa kusapa demikian. Saat mulai masuk
dalam kelompok bermain hingga SD kelas dua, mama yang mangantar-jemput aku.
Setiap pagi, setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian seragam, aku disisiri
mama. Rambutku yang hitam ikal dibiarkan panjang sebahu. Selalu ada aksesoris
yang menghiasi rambutku. Aku paling senang dikuncir satu di bagian belakang atau
ekor kuda. Terkadang dijepit di sisi kanan dan kiri kepala, atau memakai bando.
Sambil menggendong adikku yang masih
bayi, mama menggandeng tanganku. Berjalan menyusuri gang dan jalan pintas yang
penuh dengan pepohonan nan rindang, kemudian sampai di sekolah. Bisa dibilang
dulu aku termasuk anak yang cengeng. Ke mana dan di mana aku berada pasti harus
ditemani mama. Saat beliau hilang dari pandangan mataku, aku pasti menangis.
Aku juga sering bolos sekolah karena takut ditinggal mama.
Beranjak dewasa, ketika aku
menyelesaikan tugas skripsi dan sibuk mengetik di komputer, tepatnya di ruang
keluarga -dulu masih menggunakan personal
computer bukan laptop- mama tak pernah beranjak dari sisiku, karena aku
yang minta ditemani. Aku penakut. Mama rela berbaring dan memejamkan matanya di
atas karpet di depan televisi demi aku. Setia bersamaku dengan iringan doa
sampai aku siap sidang.
Seminggu menjelang sidang, aku sakit
kepala dan muntah-muntah, stres sepertinya. Badanku dipijiti dan dikerok hingga
pulih. Saat kondisiku lemah tak berdaya, beliau tak jijik membersihkan muntahanku.
Wajah dan tubuhku diseka dengan waslap yang telah dicelupkan ke dalam waskom
air hangat. Menungguiku hingga aku terlelap bersama mimpi indah.
Di kala hamil muda, aku kerap muntah
setiap hari. Beliau pula yang menenangkan raga dan batinku yang sangat payah.
Seringkali aku teryuhung seperti bertaburan bintang di atas kepala ini.
Lagi-lagi, mamalah pahlawanku. Membawakan secangkir teh manis hangat dan
membuatkan bubur ayam kesukaanku, juga membelikan semangkuk bubur sumsum yang
lezat itu.
Hal yang sama juga terjadi pada saat
aku hendak melahirkan kedua anakku. Beliau turut serta membopong, menemaniku di
setiap hembusan napas yang tersenggal-senggal saat mengejan berusaha sekuat
tenaga demi mengeluarkan bayi yang ada dalam kandunganku. Melantunkan ayat-ayat
suci Al Qur’an, mendoakan agar proses persalinan berjalan lancar dan normal,
memeluk erat tubuhku, membisikkan kata-kata penuh semangat, memijit tangan
tangan dan kakiku saat aku merasa tak kuasa menahan sakit yang tak terkira.
“Kamu pasti bisa. Insya Allah, Fit.
Mama di sini mendoakanmu. Lawan rasa takut itu. Sebentar lagi cucu mama akan
keluar.” ucap mama padaku penuh semangat.
“Kamu hebat! Ayo, tarik napas
dalam-dalam. Satu, dua, tiga…Rasa sakit ini tidak seberapa dengan kebanggaan
dan kebahagiaanmu menjadi seorang ibu. Ayo, jangan menyerah!”
Membasuh keningku yang berpeluh dengan
handuk kecil berair hangat. Menyuapiku bubur ayam atau nasi goreng di kala aku
kelelahan usai persalinan, layaknya anak kecil.
Sampai sebesar ini mungkin aku masih
seperti bayi bagi mama. Tak diperlihatkan rasa letih di wajah yang sudah
keriput itu. Selalu memancarkan keceriaan dan kebahagiaan yang teramat dalam.
Begitulah rasanya menjadi seorang ibu. Ikhlas dalam berbuat. Berani, bertanggung
jawab, rela berjuang demi kesuksesan sang buah hati tercinta. Kelak, aku pun
ingin seperti mama. Semoga.
Karena Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu (Antologi): Ibuku Pahlawanku, kisah inspiratif, Penerbit Smart Writing, September 2012
Tebal: 164 hlm
Ukuran: 14x21 cm
Terbit: September 2012
ISBN: 978-602-18845-2-2
Sinopsis:
Dekapan cinta Ibu selalu tersedia setiap waktu
untukku. Namun, cara Ibu mendekapkulah yang berbeda dari waktu ke waktu. Ketika
aku belajar berjalan, Ibu selalu ada untuk membimbingku, memberiku semangat.
Ketika aku belum fasih berjalan dan sesekali terjatuh seketika Ibu langsung
menggendong dan mendekapku dengan penuh kehangatan. Dalam dekapan cintanya, Ibu
memberikan aku semangat untuk terus belajar berjalan. Hingga tepat usiaku
menginjak satu tahun, aku bisa berjalan ke sana kemari dengan tak sesekali
jatuh lagi. Terima kasih Ibu.
Dapatkah aku menggambarkan keelokan wajah Ibu?
Eloknya lebih indah dari matahari dan bulan. Bulatan hitam bola mata yang
begitu pekat menawan, sentuhan jemari tangan yang halus melebihi halusnya
sutra, tutur katanya lembut dan penuh kasih sayang. Jika aku membayangkan
kesempurnaan seorang bidadari maka bidadari itu Ibu.
Terima kasih atas kunjungan teman-teman 😄
Duuh saya jadi baper bacanya Mba, saya jadi semakin kangen sama Mama saya :)
ReplyDeleteSemoga Mamanya dan Mba Nurul sekeluarga selalu sehat ya Mba. Aamiin :)
Saya dan mama saya sama2 berzodiak Virgo..ya buat lucu2an aja lah rasi bintang mah. Kita kadang ibarat air dan api. Tapi tetap aja namanya seorang ibu kasih sayangnya ga pernah pudar oleh waktu. Alhamdulillah kedua orangtua saya masih ada. Aamiin, makasih doanya, Mas Awan dan makasih juga sudah sudi mampir dan baca2 cerita di blog saya siiiip :)
DeleteTuh kan pasti baper kalau baca tulisan mb Nurul. Pengen meneteskan air mata ingat ibu saya di Malang hikshiks. Orang yang berjasa tapi makin sering dilewatkan waktu telponnya karena kesibukan yang tiada habisnya. HUaaa semoga mama- mama kita selalu sehat ya mbak
ReplyDeleteSemoga ibu kita sehat selalu, dilindungi Allah SWT aamiin...jadi inget mamahku nih lagi proses operasi katarak. Bulan lalu mata kanan, miggu depan yang kiri. Tq mbak Febriyanti.
Deletesemoga bukunya memberi manfaat banyak untuk yang membacannya aamiin.
ReplyDeleteSelamat atas terbitnya juga ya mba, ibu itu sosok yang nggak akan pernah tergantikan dan orang yang paling mengerti siapa kita.
Aamiin yra. Iya mamaku nungguin aku ngetik pas skripsi, nemenin aku melahirkan normal kedua anak2ku dll jd terharu hiks... makasih ya sdh mampir ke blog aku mbak Dewanti.
DeleteWah jadi sedih bacanya, Mba Nurul. Moga Teteh dan Adek juga ngasih cinta yg sama ya, kayak Mba Nurul ke Mama :)
ReplyDeleteHiks sedih ya Nit....aamiin semoga.
Delete